Variabel Perkotaan dan Asusmsi Agrotech dalam Penataan Ruang Pemukiman

Jumat, 24 Januari 2025 20:45 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Kelola Pertanian Dengan Baik, Lapas Kelas I Malang Panen Kangkung
Iklan

Urbanisasi yang cepat dan tantangan ketahanan pangan global telah mendorong inovasi dalam pemanfaatan lahan untuk pertanian di daerah perkotaan. Artikel ini mengkaji berbagai model inovatif pertanian perkotaan yang muncul sebagai respons terhadap keterbatasan lahan dan kebutuhan akan produksi pangan yang berkelanjutan. Fokus utama diberikan pada teknologi vertical farming, sistem hidroponik dan aeroponik, serta integrasi pertanian ke dalam infrastruktur perkotaan seperti roof gardens dan green walls. Penelitian ini juga membahas peran teknologi canggih seperti Internet of Things (IoT) dan kecerdasan buatan dalam meningkatkan efisiensi dan produktivitas pertanian perkotaan. Meskipun inovasi-inovasi ini menawarkan solusi potensial untuk meningkatkan ketahanan pangan dan keberlanjutan kota, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk biaya tinggi, keterbatasan kebijakan, dan kebutuhan akan keterampilan khusus. Artikel ini menyimpulkan bahwa dengan dukungan kebijakan yang tepat dan kolaborasi multi-stakeholder, model pertanian perkotaan inovatif memiliki potensi signifikan untuk berkontribusi pada pembangunan kota yang berkelanjutan dan ketahanan pangan global. Penelitian ini menyoroti pentingnya integrasi pertanian perkotaan dalam perencanaan kota dan kebijakan pembangunan berkelanjutan untuk masa depan.

 
 

Oleh : Faiza Mafatihullahu-Najwa 

 

 Abstrak: 

  

Urbanisasi yang cepat dan tantangan ketahanan pangan global telah mendorong inovasi dalam pemanfaatan lahan untuk pertanian di daerah perkotaan. Artikel ini mengkaji berbagai model inovatif pertanian perkotaan yang muncul sebagai respons terhadap keterbatasan lahan dan kebutuhan akan produksi pangan yang berkelanjutan. Fokus utama diberikan pada teknologi vertical farming, sistem hidroponik dan aeroponik, serta integrasi pertanian ke dalam infrastruktur perkotaan seperti roof gardens dan green walls. Penelitian ini juga membahas peran teknologi canggih seperti Internet of Things (IoT) dan kecerdasan buatan dalam meningkatkan efisiensi dan produktivitas pertanian perkotaan. Meskipun inovasi-inovasi ini menawarkan solusi potensial untuk meningkatkan ketahanan pangan dan keberlanjutan kota, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk biaya tinggi, keterbatasan kebijakan, dan kebutuhan akan keterampilan khusus. Artikel ini menyimpulkan bahwa dengan dukungan kebijakan yang tepat dan kolaborasi multi-stakeholder, model pertanian perkotaan inovatif memiliki potensi signifikan untuk berkontribusi pada pembangunan kota yang berkelanjutan dan ketahanan pangan global. Penelitian ini menyoroti pentingnya integrasi pertanian perkotaan dalam perencanaan kota dan kebijakan pembangunan berkelanjutan untuk masa depan. 

 

 

Variabel Perkotaan Dan Asusmsi Agrotech.

Dinamika ekonomi global telah menjadi faktor kunci dalam membentuk lanskap perkotaan dan pertanian modern. Urbanisasi yang pesat, didorong oleh pergeseran ekonomi global, telah menciptakan tantangan baru dalam penataan ruang pemukiman dan efisiensi lahan pertanian (United Nations, 2018). Kota-kota di seluruh dunia kini menghadapi tekanan untuk mengakomodasi populasi yang terus bertambah sambil mempertahankan ketahanan pangan dan keberlanjutan lingkungan. Dalam konteks ini, integrasi teknologi pertanian (agrotech) ke dalam perencanaan perkotaan muncul sebagai solusi potensial untuk mengatasi tantangan tersebut. 

Variabel perkotaan seperti kepadatan penduduk, infrastruktur, dan penggunaan lahan berinteraksi secara kompleks dengan asumsi agrotech dalam membentuk lanskap urban-rural baru. Konsep seperti pertanian vertikal dan urban farming telah mendapatkan momentum sebagai cara untuk meningkatkan produksi pangan lokal sambil mengoptimalkan penggunaan lahan perkotaan yang terbatas (Despommier, 2010). Teknologi seperti hidroponik dan aeroponik memungkinkan produksi pangan dalam lingkungan yang terkontrol, mengurangi ketergantungan pada lahan pertanian tradisional dan meningkatkan efisiensi penggunaan air (Kozai et al., 2015).   

Penataan ruang pemukiman semakin berfokus pada model pembangunan yang terintegrasi, seperti pengembangan berorientasi transit (TOD) dan konsep kota kompak. Pendekatan ini bertujuan untuk mengurangi urban sprawl, meningkatkan efisiensi energi, dan menciptakan komunitas yang lebih hidup (Cervero & Sullivan, 2011). Integrasi ruang hijau produktif dan pertanian perkotaan ke dalam desain ini tidak hanya meningkatkan ketahanan pangan tetapi juga berkontribusi pada kualitas hidup perkotaan yang lebih baik. 

Efisiensi lahan model pertanian menjadi semakin penting seiring dengan berkurangnya lahan pertanian akibat ekspansi perkotaan. Teknologi pertanian presisi, yang memanfaatkan data dan otomatisasi, memungkinkan peningkatan hasil panen sambil mengurangi input dan dampak lingkungan (Gebbers & Adamchuk, 2010). Sementara itu, integrasi pertanian ke dalam infrastruktur perkotaan, seperti kebun atap dan pertanian vertikal, menawarkan cara inovatif untuk memaksimalkan produktivitas lahan perkotaan (Thomaier et al., 2015). 

Namun, implementasi strategi ini menghadapi tantangan, termasuk biaya awal yang tinggi, hambatan regulasi, dan kebutuhan akan perubahan paradigma dalam perencanaan perkotaan. Diperlukan pendekatan kolaboratif yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk mengatasi tantangan ini dan mengoptimalkan potensi integrasi agrotech ke dalam perencanaan perkotaan (Mok et al., 2014). 

Kesimpulannya, dinamika ekonomi global telah menciptakan kebutuhan mendesak untuk meninjau kembali pendekatan kita terhadap penataan ruang pemukiman dan efisiensi lahan pertanian. Integrasi agrotech ke dalam perencanaan perkotaan menawarkan peluang signifikan untuk menciptakan kota yang lebih berkelanjutan dan tangguh. Namun, realisasi potensi ini membutuhkan kebijakan yang inovatif, investasi dalam penelitian dan pengembangan, serta kerjasama lintas sektor yang erat. Dengan pendekatan holistik dan adaptif, kita dapat menciptakan lanskap urban-rural yang tidak hanya memenuhi kebutuhan populasi yang terus bertambah tetapi juga mendukung keberlanjutan lingkungan dan ketahanan pangan jangka panjang.  

Paradigma dalam perencanaan perkotaan telah mengalami perubahan signifikan dalam beberapa dekade terakhir, didorong oleh tantangan global seperti perubahan iklim, urbanisasi yang pesat, dan kebutuhan akan keberlanjutan. Pergeseran ini mencerminkan pemahaman yang lebih mendalam tentang kompleksitas sistem perkotaan dan kebutuhan akan pendekatan yang lebih holistik dan adaptif dalam mengelola pertumbuhan kota. 

Salah satu perubahan paradigma utama adalah pergeseran dari model perencanaan top-down yang kaku ke pendekatan yang lebih partisipatif dan fleksibel. Healey (1997) menekankan pentingnya 'perencanaan kolaboratif', di mana berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat, terlibat aktif dalam proses perencanaan. Pendekatan ini mengakui bahwa pengetahuan lokal dan keterlibatan masyarakat sangat penting untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan dan kontekstual. 

Konsep 'kota pintar' atau smart city telah muncul sebagai paradigma baru yang mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) ke dalam infrastruktur perkotaan untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas hidup. Albino et al. (2015) mendefinisikan kota pintar sebagai kota yang menggunakan TIK untuk meningkatkan kinerja dan kesejahteraan, mengurangi biaya dan konsumsi sumber daya, serta melibatkan warganya secara lebih efektif. Paradigma ini menekankan pentingnya data dan konektivitas dalam pengelolaan perkotaan modern. 

Keberlanjutan telah menjadi prinsip inti dalam paradigma perencanaan perkotaan kontemporer. Konsep 'kota berkelanjutan' yang diperkenalkan oleh Girardet (2004) menekankan pentingnya keseimbangan antara kebutuhan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ini melibatkan perencanaan untuk efisiensi energi, pengurangan emisi karbon, konservasi sumber daya alam, dan penciptaan ruang hijau perkotaan. 

Paradigma 'kota tangguh' (resilient city) telah mendapatkan momentum, terutama dalam menghadapi ancaman perubahan iklim dan bencana alam. Meerow et al. (2016) mendefinisikan ketahanan perkotaan sebagai kemampuan sistem perkotaan untuk mempertahankan atau dengan cepat kembali ke fungsi yang diinginkan dalam menghadapi gangguan, beradaptasi dengan perubahan, dan dengan cepat mengubah sistem yang membatasi adaptasi saat ini atau masa depan. Paradigma ini menekankan pentingnya fleksibilitas dan adaptabilitas dalam perencanaan perkotaan. 

Konsep 'urbanisme baru' (new urbanism) yang dipopulerkan oleh Calthorpe (1993) dan lainnya, menekankan desain perkotaan yang berpusat pada manusia, mendorong kepadatan yang lebih tinggi, penggunaan lahan campuran, dan transportasi yang berorientasi pada pejalan kaki. Paradigma ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan perkotaan yang lebih hidup dan berkelanjutan. 

Akhirnya, terdapat pergeseran menuju 'perencanaan berbasis bukti' (evidence-based planning), di mana keputusan perencanaan didasarkan pada analisis data yang ketat dan penelitian ilmiah. Krizek et al. (2009) menekankan pentingnya mengintegrasikan penelitian akademis ke dalam praktik perencanaan untuk meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas. 

Pergeseran paradigma ini mencerminkan pemahaman yang berkembang tentang kompleksitas dan dinamika sistem perkotaan. Pendekatan kontemporer dalam perencanaan perkotaan semakin mengakui pentingnya integrasi berbagai disiplin ilmu dan perspektif untuk mengatasi tantangan urban yang multifaset. 

Konsep 'metabolisme perkotaan', yang diperkenalkan oleh Wolman (1965) dan dikembangkan lebih lanjut oleh Kennedy et al. (2007), melihat kota sebagai sistem hidup yang kompleks dengan aliran sumber daya dan energi yang dinamis. Paradigma ini mendorong perencanaan yang mempertimbangkan siklus hidup perkotaan secara keseluruhan, dari input sumber daya hingga output limbah dan emisi.   

'Perencanaan ekologis' yang dipopulerkan oleh McHarg (1969) dan dikembangkan oleh Steiner (2000) menekankan pentingnya mengintegrasikan proses alami ke dalam desain perkotaan. Pendekatan ini bertujuan untuk menciptakan kota yang lebih harmonis dengan lingkungan alaminya, meningkatkan biodiversitas perkotaan, dan meminimalkan dampak ekologis negatif dari pembangunan. 

Paradigma 'kota inklusif' yang diadvokasi oleh UN-Habitat (2015) menekankan pentingnya kesetaraan dan aksesibilitas dalam perencanaan perkotaan. Konsep ini bertujuan untuk menciptakan kota yang dapat diakses dan dinikmati oleh semua kelompok masyarakat, terlepas dari status sosial ekonomi, usia, atau kemampuan fisik mereka. 

'Perencanaan taktis' atau 'urbanisme taktis', yang dijelaskan oleh Lydon dan Garcia (2015), muncul sebagai pendekatan yang menekankan intervensi skala kecil dan jangka pendek untuk katalisator perubahan jangka panjang. Paradigma ini mendorong eksperimentasi dan fleksibilitas dalam perencanaan perkotaan, memungkinkan adaptasi cepat terhadap kebutuhan yang berubah. 

Konsep 'kota regeneratif' yang diperkenalkan oleh Girardet (2014) melangkah lebih jauh dari keberlanjutan, dengan menekankan pentingnya kota tidak hanya untuk meminimalkan dampak negatifnya, tetapi juga untuk secara aktif meregenerasi sistem alam dan sosial yang mendukungnya. 

Paradigma 'kota 15 menit' yang dipopulerkan oleh Moreno et al. (2021) menekankan desain perkotaan yang memungkinkan penduduk untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan sehari-hari mereka dalam jarak 15 menit berjalan kaki atau bersepeda dari rumah mereka. Konsep ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup, mengurangi ketergantungan pada kendaraan bermotor, dan menciptakan komunitas yang lebih kohesif. 

'Perencanaan berbasis sistem' (systems-based planning) yang diadvokasi oleh Bai et al. (2016) mengakui keterkaitan kompleks antara berbagai aspek perkotaan dan mendorong pendekatan holistik dalam perencanaan. Paradigma ini menekankan pentingnya memahami hubungan sebab-akibat dan umpan balik dalam sistem perkotaan untuk merancang intervensi yang lebih efektif. 

Perkembangan paradigma-paradigma ini mencerminkan evolusi pemahaman kita tentang kota sebagai sistem kompleks yang memerlukan pendekatan multidisiplin, adaptif, dan berpusat pada manusia. Tantangan ke depan bagi perencana perkotaan adalah mengintegrasikan berbagai perspektif ini ke dalam praktik perencanaan yang koheren dan efektif. Perencanaan perkotaan modern harus mampu mengatasi kompleksitas tantangan urban sambil tetap mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan, keadilan sosial, dan ketahanan ekonomi. 

  

Implementasi paradigma-paradigma baru ini memerlukan: 

  1. Kolaborasi lintas sektor: Melibatkan berbagai pemangku kepentingan termasuk pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sipil dalam proses perencanaan.
  2. Pemanfaatan teknologi: Menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, termasuk sistem informasi geografis (GIS), big data, dan Internet of Things (IoT) untuk analisis dan pengambilan keputusan yang lebih baik.
  3. Pendekatan berbasis bukti: Mendasarkan keputusan perencanaan pada data dan penelitian ilmiah yang kuat, sambil tetap mempertimbangkan konteks lokal.
  4. Fleksibilitas dan adaptabilitas: Merancang rencana yang dapat disesuaikan dengan perubahan kondisi dan kebutuhan yang muncul.
  5. Partisipasi masyarakat: Melibatkan warga secara aktif dalam proses perencanaan untuk memastikan bahwa solusi yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi lokal.
  6. Integrasi skala: Mempertimbangkan interaksi antara skala mikro (tingkat lingkungan) dan makro (tingkat kota atau regional) dalam perencanaan.
  7. Pendekatan berbasis ekosistem: Mengintegrasikan pertimbangan ekologis ke dalam semua aspek perencanaan perkotaan.
  8. Fokus pada ketahanan: Merancang kota yang dapat bertahan dan pulih dari berbagai guncangan dan tekanan, termasuk perubahan iklim dan krisis ekonomi.

  

Tantangan utama dalam mengimplementasikan paradigma-paradigma baru ini termasuk : 

  • Mengatasi resistensi terhadap perubahan dari struktur dan praktik yang sudah mapan. 
  • Menyeimbangkan kebutuhan jangka pendek dengan visi jangka panjang. 
  • Mengelola kompleksitas yang meningkat dalam proses perencanaan. 
  • Memastikan keadilan dan inklusivitas dalam perencanaan dan implementasi. 
  • Mengintegrasikan teknologi baru secara efektif tanpa menciptakan ketergantungan yang berlebihan. 

Ke depan, perencanaan perkotaan akan semakin ditantang untuk mengadopsi pendekatan yang lebih holistik, adaptif, dan berpusat pada manusia. Ini akan memerlukan pergeseran tidak hanya dalam praktik perencanaan, tetapi juga dalam pendidikan dan pelatihan perencana perkotaan, serta dalam kebijakan dan regulasi yang mengatur pembangunan perkotaan. 

Dengan mengintegrasikan berbagai paradigma ini, kota-kota di masa depan diharapkan dapat menjadi lebih berkelanjutan, inklusif, dan tangguh, mampu menghadapi tantangan abad ke-21 sambil meningkatkan kualitas hidup bagi semua penduduknya. 

 

Inovasi Lahan Model Pertanian Di Daerah Perkotaan.   

Urbanisasi yang pesat telah mendorong munculnya inovasi dalam pemanfaatan lahan untuk pertanian di daerah perkotaan. Pertanian perkotaan atau urban farming menjadi solusi potensial untuk meningkatkan ketahanan pangan, mengurangi jejak karbon, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat kota (Orsini et al., 2013). Salah satu inovasi yang semakin populer adalah vertical farming, yang memungkinkan produksi pangan dalam jumlah besar dengan lahan yang terbatas (Despommier, 2013). Teknologi hidroponik dan aeroponik juga telah memungkinkan pertanian tanpa tanah, meningkatkan efisiensi penggunaan air dan nutrisi (Sharma et al., 2018). Selain itu, integrasi pertanian ke dalam desain bangunan, seperti roof gardens dan green walls, tidak hanya meningkatkan produksi pangan tetapi juga memberikan manfaat ekologis dan estetika bagi lingkungan perkotaan (Whittinghill & Rowe, 2012). Inovasi-inovasi ini didukung oleh kemajuan teknologi seperti Internet of Things (IoT) dan kecerdasan buatan, yang memungkinkan pemantauan dan pengelolaan tanaman yang lebih presisi (Mesas-Carrascosa et al., 2015). Meskipun demikian, implementasi model pertanian perkotaan ini masih menghadapi tantangan, termasuk biaya awal yang tinggi, keterbatasan kebijakan, dan kebutuhan akan keterampilan khusus (Specht et al., 2014). Namun, dengan dukungan kebijakan yang tepat dan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, pertanian perkotaan memiliki potensi besar untuk berkontribusi pada pembangunan kota yang berkelanjutan dan ketahanan pangan global (Mougeot, 2006). 

  

 

Referensi 1. 

  1. Despommier, D. (2013). Farming up the city: the rise of urban vertical farms. Trends in biotechnology, 31(7), 388-389.  
  1. Mesas-Carrascosa, F. J., Verdú Santano, D., Meroño, J. E., Sánchez de la Orden, M., & García-Ferrer, A. (2015). Open source hardware to monitor environmental parameters in precision agriculture. Biosystems Engineering, 137, 73-83.
  1. Mougeot, L. J. (2006). Growing better cities: Urban agriculture for sustainable development. IDRC.
  1. Orsini, F., Kahane, R., Nono-Womdim, R., & Gianquinto, G. (2013). Urban agriculture in the developing world: a review. Agronomy for sustainable development, 33(4), 695-720.
  1. Sharma, N., Acharya, S., Kumar, K., Singh, N., & Chaurasia, O. P. (2018). Hydroponics as an advanced technique for vegetable production: An overview. Journal of Soil and Water Conservation, 17(4), 364-371.
  1. Specht, K., Siebert, R., Hartmann, I., Freisinger, U. B., Sawicka, M., Werner, A., ... & Dierich, A. (2014). Urban agriculture of the future: an overview of sustainability aspects of food production in and on buildings. Agriculture and human values, 31(1), 33-51.  
  1. Whittinghill, L. J., & Rowe, D. B. (2012). The role of green roof technology in urban agriculture. Renewable Agriculture and Food Systems, 27(4), 314-322.

Referensi 2. 

  1. Cervero, R., & Sullivan, C. (2011). Green TODs: marrying transit-oriented development and green urbanism. International Journal of Sustainable Development & World Ecology, 18(3), 210-218.
  1. Despommier, D. (2010). The vertical farm: feeding the world in the 21st century. Thomas Dunne Books.
  1. Gebbers, R., & Adamchuk, V. I. (2010). Precision agriculture and food security. Science, 327(5967), 828-831.
  1. Kozai, T., Niu, G., & Takagaki, M. (Eds.). (2015). Plant factory: an indoor vertical farming system for efficient quality food production. Academic Press.
  1. Mok, H. F., Williamson, V. G., Grove, J. R., Burry, K., Barker, S. F., & Hamilton, A. J. (2014). Strawberry fields forever? Urban agriculture in developed countries: a review. Agronomy for sustainable development, 34(1), 21-43.
  1. Thomaier, S., Specht, K., Henckel, D., Dierich, A., Siebert, R., Freisinger, U. B., & Sawicka, M. (2015). Farming in and on urban buildings: Present practice and specific novelties of Zero-Acreage Farming (ZFarming). Renewable Agriculture and Food Systems, 30(1), 43-54.
  1. United Nations. (2018). World Urbanization Prospects: The 2018 Revision. Department of Economic and Social Affairs, Population Division.

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
A.W. Al-faiz

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

img-content

Jejak Al-Masih dalam Ruang Kelas Modern

Kamis, 21 Agustus 2025 22:47 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler